PENULIS: ICE VENTININGRAT, S. Pd.
BULAN: OKTOBER 2022
PRODUK: KARYA TULIS
Kapakan
Langlayangan hiji ngoleang
Naha pegat kenurna
Atawa salah nu maenkeunna
Langlayangan hiji mawa
jalanna
Dipencrong nyaah kunu bogana
Nurutkeun angin nu boga kahayang
Pek ngajauh !
Dina mangsana tangtu euntreup
PENULIS: ICE VENTININGRAT, S. Pd.
BULAN: NOVEMBER 2022
PRODUK: KARYA TULIS
Ucapan adalah Doa
Ada pepatah Sunda yang
menyatakan “Ulah saomong-omongna, mun ngomong kudu ngomong nu alus, lantaran
eta nu sok kajadian.” Begitu terngiang jelas dibenakku. Dan hal inilah yang
melandasiku menuliskan sepenggal pengalaman diri yang kuharap akan selalu
kuingat bahwa effek dari pepatah itu begitu berbekas.
Butiran air mata tak
terbendung, berjuta rasa menggelora. Isakku adalah ekspresi syukurku. Kini
dapat kupahami arti “Ulah saomong-omongna, mun ngomong kudu ngomong nu alus,
lantaran eta nu sok kajadian.” Untaian
doa, semoga Alloh mudahkan urusanku dalam menjalankan tugas. Masyaaalloh
walhamdulillah.
Bahagiakah? Atau kecewakah?
Nyatanya rasa syukurlah yang senantiasa
membersamaiku dari buah pepatah Sunda itu.
Entah 10 tahun atau lebih
dari itu, masih kuingat tatkala sebuah tayangan di suatu media informasi
menyajikan suatu tempat wisata dengan suguhan yang begitu memanjakan mata.
Tampak bentang alam yang begitu memesona , diiringi merdunya instrument musik
sunda, begitu mengalun seiring gerak kemana
Sang penyaji program mengarahkan.
Decak kagum terlontar
dari mulutku, Pesona alam ciptahan Alloh yang Maha Agung begitu sempurnanya, gumpalan
awan-awan putih sangat kontras di birunya langit, gunung-gunung tampak dengan
berbagai warna yang bergradasi, dihiasi dikaki kakinya dengan perkampungan yang
beberapa diantaranya diselingi dengan pepohonan.
Terpikat hati,
menumbuhkan keinginan untuk mengetahui lebih jauh lagi, dimanakah tempat yang
memiliki pemandangan luas itu. Narasi dari Sang penyaji program nyatanya
memahami bisikan hati, dengan runtutnya memaparkan informasi lengkap
keberadaan, daya tarik dan daya jual dari tempat wisata tersebut.
Lirih mulut bergumam,
bahagianya jika dapat selalu berada disana, menikmati suasana tanpa menguras
dana, uhuyyyyy. Melayang membayangkan indah-indah di depan mata.
Aku, seorang Aparatur Sipil Negara. Qodarulloh.
Dimana berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 23, terdapat delapan kewajiban
pegawai ASN, antara lain sebagai berikut:
1. Setia
dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah;
2. Menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa;
3. Melaksanakan
kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang;
4. Menaati
ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. Melaksanakan
tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung
jawab;
6. Menunjukkan integritas dan keteladanan dalam
sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun
di luar kedinasan;
7. Menyimpan
rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
8. Bersedia
ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewajiban yang diemban memang berat,
konsekuensi profesi hendaklah dijalankan dengan nyaman penuh tanggung jawab.
Setelah belasan tahun
mengabdi sebagai honorer bukanlah hal mudah. Antara keikhlasan dan harapan,
hanya diri sendiri yang paham pahit manisnya. Saat takdir Alloh memuluskan
upaya menggapai cita-cita, buktikan dengan syukur, sabar serta sadar.
Surat Penugasan ditangan.
Perlahan lembaran dibuka, seksamanya mata meniti deretan kata, nyata nama
pemberian orang tua tersurat di dalamnya, debar jantung begitu menderu,
mengingat saat itu tak dapat kusampaikan berita bahagia pada ibuku, semoga
Alloh merahmati dan memberikan nikmat kubur padanya. Unit kerja terpampang
jelas, sebuah sekolah yang kutahu itu, berlokasi di sebuah tempat indah, tempat
indah yang kulamunkan dulu.
PEMBIMBING : ICE VENTININGRAT, S. Pd.
BULAN :
JANUARI 2023
PRODUK :
KARYA TULIS
Sepi
Sekian lama termenung
dalam duduknya, perempuan paruh baya itu nampak betah di tengah diamnya. Entah
telah berapa waktu terlewat, seakan dia tak peduli. Mata asyik memandang ke
arah luar jendela yang mendingin, terkena terpaan hujan rintik sejak dini hari.
Apa gerangan yang kau tunggu wahai mak?
Sesekali senyum terkulum
begitu jelas di sudut bibirnya dengan sorot mata cerah yang mengisyaratkan
suatu kenyamanan. Pipi membulat, mungkin karena udara menggelembung di rongga
mulut yang tak dapat keluar.
Namun, tak urung hal itu pun segera
terganti dengan tatapan tajam, kening berkerut, alis meliuk, dan senyum yang
menghilang. Ah, tanda tanya besarlah akan pemandangan itu.
Hujan terus menitikan
buliran buliran bening, terkadang turun lurus, namun adakalanya jatuh miring
tak kuasa akan tiupan angin yang memaksanya untuk terdorong. Tanah basah sedari
pagi, dan pada bagian cekungan cekungan, lambat laun terbentuk genangan air.
Kciprukkkkk…… cipratan
air tiba-tiba menyembur dan menabrak kaca jendela, tidak keras. Tapi, sanggup
mengejutkan perempuan paruh baya itu. Raut mukanya menunjukan kekagetan yang
telah mampu mengaburkan isi kepalanya. Oooo, Rupanya penyebab itu semua adalah
seorang anak kecil yang berlari dengan sengaja, dan menghentakan kakinya pada
genangan air, depan rumahnya.
“Astaghfirulloh..”
ucapnya sembari mengusap mukanya dengan dua telapak tangannya, yang tak lagi
berbalut kulit segar.
Oh
Mak, kau usap wajahmu tentu bukan karena
kena air. Tapi ekspresi itu, buah dari kejadian
kecil beberapa saat yang lalu.
“Ternyata sudah jam 8,
pantesan perutku terasa panas.” Kesadarannya akan kondisi badannya seakan
menggeliat, sesaat setelah Ia menoleh jam yang menempel di atas pintu kamar
tidurnya.
Dengan perlahan seakan
enggan, gerak tubuhnya membawa Ia ke ruangan belakang.
Tangan Mak mengambil
ceret almunium yang ada di atas meja, kemudian Ia isi dengan air dari dalam
sebuah ember plastik. Dan menaruhnya di atas kompor gas, yang kemudian Ia
nyalakan.
…
Teh panas harum adalah
temannya di pagi ini, pagi kemarin, pagi kemarin lusa, minggu lalu, bulan lalu,
tahun lalu, bertahun-tahun lalu.
Dulu saat ibunya masih
ada, mereka terbiasa menikmati pagi dengan sajian teh hangat dan kue-kue kecil
buatan mereka. Tapi kini, bahkan sudah bertahun tahun lamanya, tak lagi utuh
menjadi kebiasaannya. Tak ada hasrat untuk membuat kue lagi, sejak ibunya
meninggal. Dan, secangkir teh panas cukuplah menjadi ikhtiarnya memberikan hak
akan tubuhnya.
Perempuan paruh baya,
ikhlas menjalani. Perjalanan hidup tak selamanya seperti yang diangankan.
Skenario bolehlah disusun dengan rapi, dimana di dalamnya teruntai harapan-harapan,
selayaknya manusia hidup. Namun kelokan-kelokan selama proses menempuhnya,
sanggup makin menjauhkan dirinya dari garis yang telah Ia gambarkan.
Bekal tawekal dan
berserah diri pada Alloh menjadi modalnya untuk tetap waras. Tetap menjalani
perjalanan dengan tulus.
Pagi itu, sujud panjang
dalam dhuha-nya, perempuan paruh baya
menumpahkan segenap kata kata yang memenuhi relung qalbu. Rasa syukur terucap
dengan lirih, dan kesadaran yang sangat kuat mendorongnya untuk sabar. Sepenggal
doa Ia panjatkan sebagai pengakuan betapa lemahnya diri tanpa pertolongan
Alloh. لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

JUDUL: RASA YANG PERNAH ADA
PENULIS: ICE VENTININGRAT, S.Pd
BULAN KE-: 5 (MARET 2023)
0 Komentar