Tulisan Guru (Wisnu Fauzi, S.Si)

Penulis: Wisnu Fauzi, S.Si
Bulan ke-: 1 (Oktober 2022) 


Membangun Karakter Bangsa melalui Pendidikan Karakter Holistik

Perkembangan zaman pada era globalisasi saat ini telah menimbulkan dampak pada perubahan karakter manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Apabila tidak diantisipasi dengan pendidikan karakter yang baik, maka hal tersebut akan menimbulkan krisis moral yang berakibat pada perilaku negatif di masyarakat, misalnya pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pencurian, kekerasan terhadap anak, dan lain sebagainya.

Menurut Lickona suatu bangsa sedang menuju ke jurang kehancuran bila menunjukkan kemerosotan moral yang ditandai dengan sepuluh indikator berikut:

1. meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,

2. penggunaan kata-kata yang buruk,

3. pengaruh kelompok sebaya yang kuat dalam tindak kekerasan,

4. meningkatnya perilaku merusak diri seperti penyalahgunaan narkoba, minuman keras, serta seks bebas,

5. semakin mengaburnya pedoman moral baik dan buruk,

6. menurunnya etos kerja,

7. semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,

8. rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,

9. membudayanya ketidakjujuran, dan

10. adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.

Indikator-indikator kemerosotan moral di atas sudah tampak nyata di masyarakat Indonesia. Tidak perlu jauh-jauh, kita dapat melihat dan mengamati dari sikap keseharian siswa baik di lingkungan rumah, sekolah maupun ketika berada di lingkungan masyarakat. Indikator sederhana saja yaitu penggunaan kata-kata dan bahasa yang buruk dalam komunikasi sehari-hari. Seolah sudah menjadi hal yang lumrah dan merasa tidak bersalah ketika mengucapkan kata-kata buruk kepada orang lain. Perilaku berkata-kata yang buruk ini juga berimplikasi pada indikator lain, salah satunya rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan siswa secara individu yang nantinya akan berdampak pada kemunduran Bangsa Indonesia. 

Untuk mengantisipasi krisis moral khususnya pada diri siswa, maka perlu diterapkan dan dibiasakan pendidikan karakter sejak dini yang bersifat holistik, artinya meliputi aspek intelektual, emosional, dan religius secara terpadu. Pendidikan karakter secara holistik dilakukan melalui upaya-upaya memperkenalkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kehidupan pada diri peserta didik agar menjadi manusia yang utuh, yaitu mampu mengembangkan seluruh potensinya sehingga menjadi manusia yang berkualitas. 

Aspek intelektual, emosional dan religius pada pendidikan karakter holistik ditunjukkan pada karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran, diplomatis, hormat, santun, suka tolong menolong, percaya diri dan bekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, rendah hati, serta toleransi, kedamaian dan kesatuan.

Pendidikan karakter secara holistik dapat diterapkan oleh guru melalui berbagai strategi, diantaranya:

1. Mengintegrasikan pendidikan karakter holistik ke dalam proses pembelajaran, melalui pengembangan silabus dan RPP.

2. Menanamkan budaya sekolah melalui pembiasaan-pembiasaan pada aspek intelektual, emosional dan religius, baik yang sifatnya rutin, terprogram, maupun insidental.

3. Melalui kegiatan pengembangan diri dengan penguatan pada bimbingan dan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler.

Dengan diterapkannya pendidikan karakter secara holistik diharapkan karakter-karakter baik pada diri siswa akan terus berkembang dan terbangun, sehingga di kemudian hari kemerosotan moral masyarakat dapat dicegah. Pada ujungnya pembangunan karakter masyarakat akan mengantarkan Bangsa Indonesia menjadi negara yang maju dan bermartabat.





Penulis: Wisnu Fauzi, S.Si

Bulan ke-: 2 (November 2022) 

Menghafal, Sebuah Kesalahan Terbesar dalam Belajar

Pernahkah kita berpikir bahwa begitu banyak pelajaran di sekolah tapi kita tidak mengetahui seberapa penting pelajaran itu bagi kita. Apakah itu semua ada gunanya? Bahkan, apakah sekolah itu benar-benar penting bagi kita?

Sayangnya ketika belajar di sekolah, kita terlalu fokus menghafal, bukan benar-benar mencoba memahami. Itulah yang membuat meskipun memperoleh nilai yang bagus, namun setelah lulus kita langsung lupa semua yang telah dipelajari, bahkan tidak tahu gunanya ilmu yang sudah dipelajari di kehidupan kita. Padahal sepanjang sejarah, dunia kita dibangun oleh orang-orang hebat yang mencoba memahami berbagai hal yang sulit di dunia ini. Makanya, satu kesalahan terbesar dalam belajar adalah kita terlalu fokus menghafal. Hafalan bukan sama sekali tidak penting, tapi hafalan saja tidaklah cukup.

Jika kita lihat di luar sana, dunia semakin cepat berubah. Menghadapi dunia seperti ini, kita harus mampu mengikuti perkembangan zaman, sehingga kita tidak bisa hanya mengandalkan hafalan. Untuk itu kita perlu mengetahui semua ilmu dengan melihatnya dari  kacamata yang berbeda. Mulai dari gunanya di kehidupan nyata, cerita di baliknya, tokoh yang berperan, sampai kecocokannya dengan diri kita. Hingga akhirnya kita bisa jadi diri sendiri dan melanjutkan jejak mereka. Dari titik inilah kita perlu belajar bagaimana cara belajar yang baik, agar kita semakin mengerti pelajaran-pelajaran ini dan bisa jadi berguna untuk kehidupan kita.

 

Langkah pertama dalam belajar, akui jika kita belum mengerti.

Di sekolah mungkin kita sering bertemu dengan rumus-rumus atau istilah-istilah yang susah. Tahan diri kita untuk tidak cuma menghafal dan menebak-nebak jawabannya. Akui kalau misalnya kita memang belum mengerti sesuatu. Karena itu adalah langkah pertama yang paling penting dalam belajar. Jika kita merasa diri kita sudah mengetahui segalanya, maka kita tak akan pernah benar-benar belajar lagi. Jadi jika tidak mengerti tentang suatu pelajaran, jangan pura-pura mengerti dan menebak-nebak jawabannya, tapi cari tahu artinya, terus latihan sampai memahami konsepnya. Jadi, jangan pernah malu jika tidak tahu semua jawaban. Malulah jika kita merasa sudah tahu segalanya.

 

Langkah kedua, jika ingin memahami sesuatu belajarlah dari dasarnya.

Dunia dipenuhi ilmu-ilmu baru yang terus bermunculan setiap waktu. Dengan begitu banyaknya ilmu pengetahuan, agar bisa mempelajari segala sesuatu dengan cepat, penting sekali untuk melihat pengetahuan menjadi semacam cabang pohon. Pastilah kita sudah memahami prinsip-prinsip di dalamnya dulu, yaitu batang dan cabang-cabang besarnya sebelum kita bisa masuk ke ranting dan dedaunannya. Jika tidak demikian, kita tidak memiliki pegangan untuk bisa bergantung. Kita akan jatuh dan gagal paham. Makanya sangat penting misalnya memahami matematika dari dasarnya dulu, baru kita bisa masuk ke cabang-cabangnya.

Ketika belajar di sekolah, kita sering sekali gagal memahami pelajaran karena kita juga sering melewatkan bagian-bagian penting dasarnya. Susah untuk belajar sesuatu jika tidak mengerti dasar-dasarnya dulu, dan susah untuk belajar sesuatu jika kita tidak tahu kita sudah berada di level berapa. Untuk itu, bila mengalami kebingungan tentang suatu pelajaran, coba cari tahu lagi dan memahami mulai level paling dasar. Ulangi terus level sebelumnya sampai benar-benar paham. Tidak mengapa mundur beberapa langkah lagi agar kita benar-benar bisa mengerti. Jangan pernah malu untuk belajar lagi dari dasarnya.

 

Langkah ketiga dalam belajar, jangan berhenti mencari sesuatu yang kita suka.

Jadi pelajaran-pelajaran kita ini adalah ilmu-ilmu dasar. Tapi pertanyaannya, apakah penting untuk kita pelajari semuanya? Jawaban singkatnya sangat penting! Kita memerlukan dasar-dasar ini semua untuk bisa bertahan hidup di zaman yang berkembang begitu pesat. Sekaligus kita perlu mencari tahu mana yang kita suka untuk bisa berkontribusi terhadap kemajuan dunia ini.

Sekarang bayangkan kita seperti karakter-karakter yang ada di game. Kita pasti belajar ilmu dasarnya dulu, tapi nanti di level selanjutnya kita harus menentukan karakter seperti apa yang ingin kita bangun. Dan mungkin kita akan kebingungan. Tidak apa-apa, tidak ada satu karakter pun yang benar-benar jelas lebih baik daripada yang lainnya. Ini merupakan pilihan kita sendiri untuk mau berperan menjadi karakter seperti apa.

Setiap orang memiliki pendapatnya sendiri, tidak ada pilihan yang salah. Kita bisa memilih salah satu atau gabungan dari beberapa karakter. Kita harus memilih menjadi karakter tertentu karena semakin tinggi levelnya, kita semakin harus bekerja sama dengan karakter lain untuk saling melengkapi. Karena tidak ada karakter yang sempurna yang bisa melakukan semuanya sendiri, mengingat butuh waktu dan usaha panjang untuk menguasai sesuatu.

Semua karakter harus belajar mengayun pedang pada awalnya, karena karakter apapun harus memiliki kemampuan dasar dulu untuk bertahan melawan monster. Begitu pun dengan pelajaran di sekolah, misal belajar matematika. Menghitung dan melatih logika adalah kemampuan dasar yang dilatih dalam pelajaran matematika yang berguna untuk kita menghadapi tantangan di kehidupan nyata nanti. Makanya pelajaran-pelajaran ini bukanlah sekedar teori yang dihafal, tapi juga bisa berguna untuk kita terapkan di kehidupan nyata.

 Ilmu pengetahuan bukanlah prestasi orang-orang hebat saja. Tapi adalah usaha bersama yang melintasi generasi ke generasi. Sebuah perjuangan membawa obor dari guru ke murid, kembali ke guru. Sebuah perjuangan bersama dari zaman sebelum peradaban hingga jauh ke masa depan. Semuanya dimulai dari sekolah kita. Dengan berani mengakui jika belum mengerti. Dengan tidak takut mencari tahu segala sesuatu hingga ke dasarnya. Dengan tidak melihat ilmu pengetahuan dalam batasan-batasan, namun sebagai keseluruhan. Maka kita bisa bekerja sama bertahan hidup, menghadapi tantangan masa depan yang tak pasti dan penuh tantangan.






Penulis: Wisnu Fauzi, S.Si
Bulan ke-: 3 (Januari 2023)  



Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual pada Anak di Lingkungan Sekolah


Ada sebuah artikel menarik yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek di situs https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/, “Apa itu kekerasan seksual?”. Membaca judulnya saja saya terbayang kekhawatiran tentang masa depan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Secara psikis pribadi-pribadi ini mengalami perasaan rendah diri, kecemasan yang tinggi, emosi tidak stabil hingga depresi, bahkan anak yang hidup dengan kekerasan semasa dewasanya biasanya akan menjadi pelaku kriminal, seperti melakukan seks bebas, ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang, atau menjadi pelaku kekerasan (Ariani, Hajeng Wulandari, 2021). Padahal kemajuan bangsa Indonesia ke depan ada di tangan anak-anak ini.

Namun permasalahannya, kadang pelaku kekerasan seksual tidak menyadari bahwa ia telah melakukannya. Bahkan, banyak korban yang juga tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan. Perbuatan yang sebenarnya mengandung unsur kekerasan seksual seperti menjadi hal yang lumrah di kehidupan bermasyarakat, mirisnya bisa saja hal itu terjadi juga di lingkungan dunia pendidikan khususnya di sekolah. 

Secara khusus di lingkungan sekolah melihat kondisi di atas, maka pentingnya kesadaran tentang kekerasan seksual dan seluruh dampak negatifnya perlu terus disosialisasikan secara berkelanjutan baik dalam kegiatan intrakurikuler, ekstra kurikuler, maupun kokurikuler, termasuk kegiatan pengembangan diri lainnya seperti melalui Bimbingan dan Konseling (BK). Dengan bersumber dari situs di atas, tulisan ini saya jadikan sebagai salah satu sarana sosialisasi tersebut kepada para pembacanya, yang mengingatkan kembali definisi kekerasan seksual dan bentuk-bentuknya, agar setiap bagian warga sekolah memahami dan mampu mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan seksual khususnya pada anak-anak di lingkungan sekolah. 

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara: verbal, non fisik, fisik, dan daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. 

Selain pemerkosaan, perbuatan-perbuatan di bawah ini termasuk kekerasan seksual.

1.      berperilaku atau mengutarakan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan penampilan fisik, tubuh ataupun identitas gender orang lain (misal: lelucon seksis, siulan, dan memandang bagian tubuh orang lain);

2.      menyentuh, mengusap, meraba, memegang, dan/atau menggosokkan bagian tubuh pada area pribadi seseorang;

3.      mengirimkan lelucon, foto, video, audio atau materi lainnya yang bernuansa seksual tanpa persetujuan penerimanya dan/atau meskipun penerima materi sudah menegur pelaku;

4.      menguntit, mengambil, dan menyebarkan informasi pribadi termasuk gambar seseorang tanpa persetujuan orang tersebut;

5.      memberi hukuman atau perintah yang bernuansa seksual kepada orang lain (seperti saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru, saat pembelajaran di kelas atau kuliah jarak jauh, dalam pergaulan sehari-hari, dan sebagainya);

6.      mengintip orang yang sedang berpakaian;

7.      membuka pakaian seseorang tanpa izin orang tersebut;

8.      membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam seseorang untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang sudah tidak disetujui oleh orang tersebut;

9.      memaksakan orang untuk melakukan aktivitas seksual atau melakukan percobaan pemerkosaan; dan

10.   melakukan perbuatan lainnya yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. 

Dengan berpegangan dengan pemahaman yang sama tentang kekerasan seksual seperti yang dijelaskan oleh Kemendikbudristek, diharapkan seluruh warga sekolah baik pimpinan sekolah, para guru dan murid, serta warga sekolah lainnya mampu lebih menyadari bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dapat terjadi khususnya pada murid-murid di sekolah sehingga memiliki kepedulian yang lebih tinggi untuk mencegahnya.




Penulis: Wisnu Fauzi, S.Si
Bulan ke-: 4 (Februari 2023)



Peran Strategis Keluarga dalam Pendidikan Anak 

Sekolah merupakan lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Tak hanya belajar mata pelajaran saja, tetapi di sekolah anak belajar berinteraksi dengan teman sebaya dan guru. Di sekolah anak belajar memperkuat karakter diri. Belajar menghargai, bertanggung jawab, toleransi, dan kerja sama melalui interaksi di dalam sekolah. 

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Agar tujuan pendidikan nasional tersebut terwujud, perlu adanya kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. 

Unsur keluarga tidak bisa lepas dalam proses pendidikan anak. Orang tua memilih sekolah sebagai sarana mendidik anak. Namun, pendidikan anak bukanlah 100 persen menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Keluarga tetap memiliki andil terpenting dalam proses tumbuh kembang dan pendidikan anak. 

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2017 tentang pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan menimbang bahwa keluarga memiliki peran strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 

Keluarga merupakan tempat pertama anak belajar. Dari apa yang dipelajari dalam lingkungan keluarga, akan mempengaruhi sikap dan karakter anak. Karakter awal yang terbentuk itulah dijadikan bekal anak untuk berinteraksi di dunia luar, termasuk di lingkungan sekolah. 

Pelibatan keluarga dalam pendidikan anak memberikan dampak positif bagi psikologi anak. Anak merasa lebih percaya diri. Dengan adanya dukungan dari keluarga, prestasi yang akan ditorehkan anak pun dapat mengalami peningkatan. Peningkatan prestasi anak itu akan memberikan kepuasan bagi keluarga. Adanya dampak positif pelibatan keluarga dalam pendidikan anak secara otomatis memotivasi sekolah agar terus meningkatkan mutu pendidikan. 

Memberi kepercayaan kepada pihak sekolah dalam menjalankan program sekolah merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan. Keluarga memantau dan mendukung proses pelaksanaan program sekolah dalam berbagai bidang. Cara termudah yang dapat orang tua terapkan dalam mendukung pendidikan anak di sekolah adalah dengan selalu menghadiri undangan sekolah baik dalam kegiatan rapat, pentas seni, pengambilan rapor, dan masih banyak lagi. 

Melalui momen bertemunya antara keluarga dengan pihak sekolah dapat membuka pintu silaturahmi. Komunikasi yang baik akan semakin mempererat hubungan antara keluarga dengan sekolah. Bahkan, sekarang ini tersedia fasilitas untuk mempermudah komunikasi antara orang tua dengan wali kelas. Para wali kelas membuka jalan komunikasi melalui whatsapp dengan membuat kelompok, agar perkembangan anak di tiap harinya dapat dilaporkan dan dipantau. 

Beberapa sekolah juga menerapkan kelas orang tua. Kelas orang tua merupakan wadah antara orang tua dan wali kelas bertukar pikiran tentang penyelenggaraan pendidikan. Kelas orang tua menjadi sarana bagi sekolah menyampaikan program sekolah. Sekolah dapat menyosialisasikan tata tertib sekolah, kegiatan sekolah, dan berbagai informasi agar penyelenggaraan pendidikan sekolah berjalan dengan lancar. 

Pelibatan keluarga dalam pendidikan pun dapat mengurangi risiko kenakalan remaja yang ditimbulkan oleh salah pergaulan pada anak. Adanya komunikasi antara sekolah dan keluarga setidaknya mengurangi keinginan anak untuk melanggar tata tertib sekolah. Anak akan berpikir panjang sebelum melakukan pelanggaran, karena info pelanggaran terkecil pun akan dengan mudah sampai ke telinga orang tua. 

Sekolah menjadi partner bagi keluarga dalam mendidik anak. Dengan adanya kolaborasi antara keluarga dan sekolah, akan terwujud suasana pembelajaran yang nyaman dan aman sehingga mampu mencetak generasi muda yang kompeten dan berkarakter kuat. 






Penulis: Wisnu Fauzi, S.Si
Bulan ke-: 5 (Maret 2023)

Mengembalikan Budaya Sopan Santun dalam Belajar


Era globalisasi selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang dibawa oleh era globalisasi adalah kemerosotan moral, seperti lunturnya sopan santun siswa terhadap guru ketika belajar di sekolah.
Sejatinya generasi muda sekarang atau yang dikenal dengan generasi milenial mengemban misi untuk menjadi penerus tonggak kepemimpinan bangsa ini di masa depan guna mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Besar harapan bangsa ini yang diemban ke pundak mereka, namun ada satu permasalahan yang dapat cita-cita tersebut tidak terwujud, yaitu krisis moral.
Tayangan di televisi juga di berbagai flatform digital telah menggerus moral bangsanya sendiri. Sinetron dan tayangan video digital dengan adegan tidak senonoh banyak ditampilkan, tayangan bernuansa romansa telah menjadi idola. Para youtuber dan vide vlogger yang menjadi panutan generasi milenial saat ini, justru banyak menyajikan konten-konten bermuatan negatif, serta menggunakan bahasa yang kasar, jorok, jauh dari norma kesopanan dan kesantunan. Tayangan di flatform lainnya banyak mempertontonkan adegan menari yang banyak diantaranya sudah melewati batas norma-norma kepantasan dan kesusilaan untuk ditampilkan di publik, namun itu pun sudah menjadi konsumsi anak-anak generasi milenial sehari-hari. Mirisnya, tontonan-tontonan itu berdampak terhadap perubahan pola pikir mereka di berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah bidang pendidikan. Degradasi moral akademik telah merajalela, terutama lunturnya tata krama siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran di sekolah.
Lunturnya nilai-nilai kesopanan siswa terhadap gurunya telah menjadi permasalahan yang paling krusial saat ini. Padahal guru merupakan figur yang patut dihormati dan dihargai. Namun, sering kita jumpai siswa cenderung kehilangan etika dan sopan santun di hadapan para gurunya. Contohnya melawan atau membantah gurunya ketika diberikan nasihat. Bahkan, tak jarang ditemui kasus perundungan siswa terhadap gurunya. Dengan dalih “hanya bercanda” siswa dengan mudahnya mempermalukan gurunya sendiri. Di sisi lain terkadang guru bertindak memosisikan dirinya sebagai teman terhadap siswa, namun itu tidak seharusnya menghilangkan rasa hormat siswa terhadap gurunya.
Peristiwa-peristiwa di atas telah menciptakan stigma buruk masyarakat terhadap dunia pendidikan. Pendidikan dianggap telah gagal mendidik dan mencetak siswa menjadi insan yang mulia. Padahal, tenaga pendidik telah berupaya maksimal. Namun celakanya moral siswa memang telah tergerus dan terdoktrin oleh berbagai pengaruh buruk dari luar.
Solusi untuk mengembalikan budaya sopan santun siswa tidak lain melalui proses pembiasaan. Pembudayaan sopan santun di rumah dapat dilakukan melalui peran orang tua dalam mendidik anaknya, seperti melalui hal-hal berikut:
1. Orang tua memberikan keteladanan penerapan perilaku sopan santun di depan anak. Keteladanan merupakan alat pendidikan yang paling efektif dalam membentuk karakter anak-anak termasuk sopan santun.
2. Menanamkan sikap sopan santun melalui pembiasaan baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat.
3. Menanamkan sikap sopan santun sejak anak masih kecil, karena karakter anak lebih mudah dibentuk dan diarahkan pada usia dini.
Sementara itu pembudayaan sikap sopan santun di sekolah dapat dilakukan melalui berbagai program pembiasaan sikap sopan santun seperti:
1. Keteladanan sopan santun dari guru. Siswa sebagai pembelajar dapat menggunakan guru sebagai model. Dengan contoh dari guru siswa dengan mudah dapat menirunya dan lebih sikap sopan santun lebih mudah tertanam.
2. Mengintegrasikan perilaku sopan santun ini dalam setiap mata pelajaran, sehingga tanggung jawab perkembangan karakter siswa tidak hanya menjadi beban guru agama dan bimbingan konseling saja.
3. Menyelenggarakan berbagai program pengembangan diri yang di dalamnya berisi penguatan sikap sopan santun dalam kehidupan sehari-hari.

Posting Komentar

0 Komentar